Aisyah berjalan pincang. Mengelilingi persimpangan lampu
merah. nyeker, tanpa alas kaki. Ia terduduk, melihat telapak kaki yang merah
terkelupas karena bergesekan dengan aspal panas. Ia meringis sakit karena perih.
Rasanya ingin teriak, meraung cengeng seperti anak-anak seumurnya. Namun hal itu tidak mungkin, hanya isak kecil
dan tetes air mata menahan sakit yang keluar. Aisyah harus tegar demi mengejar
setoran.
Ia duduk di
trotoar untuk menghitung uang hasil mengamen. "cuma tujuh ribu dua
ratus" lirihnya. Lagi-lagi ia mringis meringis. Perih. Tapi ia usahakan
untuk berdiri "Aku harus ngamen lagi agar bisa dapat diatas tiga puluh
ribu. Tiga puluh ribu untuk setoran dan sisanya aku bisa nabung untuk beli sandal"
katanya dengan suara parau menahan perih kakinya.
Tiga puluh
ribu adalah setoran yang harus didapat oleh si kecil Aisyah. Ia tak berharap
barbie. Ia juga tak ingin baju baru. Ia hanya perlu sandal sebagai alas kaki.
Dulu, Aisyah mempunyai sepasang sandal. Sandal jepit bergambar bunga-bunga. Sandal
itu hadiah dari ibunya. Tapi sandal itu telah hilang terbawa arus sungai. Setiap
melihat seorang anak yang memakai sandal jepit bunga-bunga, Aisyah sedih dan
teringat hadiah terakhir ibu sebelum meninggal.
Aisyah
adalah anak yatim piatu. Ibunya baru sebulan meninggal dan ayahnya meninggal
saat ia berumur setahun. Tak lama ibunya meninggal, kampung Aisyah dilanda
banjir dan menghancurkan rumah kecilnya. Entah bagaimana ia bisa terpisah dari
rombongan pengungsi dari kampungnya. Tapi kini ia hidup bersama anak-anak
jalanan yang ditampung Bang Amat.
Di sebuah
rumah tua berantakan dan tak berpenghuni, Aisyah tinggal. Rumah yang dipagari
ilalang tinggi dan lumut yang hampir menutupi seluruh dinding menawarkan hawa
kengerian bagi yang melihatnya. Tak ada yang berani mendekat kecuali Bang Amat,
sekutunya dan anak-anak jalanan yang dipekerjakan.
Aisyah
berdiri lagi. Kakinya telah di kompres dengan es batu. Kini ia menggunakan
kantong kresek yang dipungutnya ditong sampah jalan. Ia membungkus kedua kakinya
dengan kantong kresek sebagai pengganti alas kaki. Kemudian kembali berkerja menuju
simpang-simpang lampu merah dan bernyanyi.
Memang nasib
menjadi anak jalanan. Pandangan buruk banyak ia dapatkan. Bahkan lebih parah, meskipun
ia mengamen tapi statusnya sering disamakan dengan pengemis. Orang-orang
dijalan hanya menganggap Aisyah berpura-pura membungkus kaki agar dikasihani.
Tak sedikit mengatakan ‘tidak’ dan pura-pura tidak melihat. Namun ia tetap tersenyum
meski ditolak. Terus berjalan mengamen tanpa alas kaki demi setoran, uang makan
dan membeli sandal jepit bunga-bunga.
"Ibu,
mengapa engkau pergi dengan cepat? Maafin Aisyah ya bu, tak bisa menjaga sandal
jepit bunga-bunga hadiah terakhir ibu, semuanya hanyut terbawa arus
sungai" Ujar Aisyah sedih ketika melihat seorang anak menggunakan sandal
seperti miliknya sedang bercengkrama bahagia dengan sang ibu. Aisyah ingat
benar, saat arus sungai yang kuat menghancurkan kampung termasuk rumah dan
menghanyutkan sandal jepit kesangannya. Untungnya ia selamat dan seorang preman
bernama Amat menemukannya.
****
Terseok-seok
Aisyah berjalan menelusuri gang-gang dan perkampungan kecil di pinggir sungai.
Terkadang ia singgah di salah satu tangga yang digunakan warga untuk turun ke
sungai. Duduk dan makan ditangga sambil merendam telapak kakinya yang
pecah-pecah penuh luka. Air sungai cukup meredakan sebentar keperihan yang
dirasakan olehnya.
Dirumah tua yang
kotor dan lantai dengan hamparan kertas-kertas kardus, bang amat dan anak
buahnya telah menanti. Telah antri teman-teman yang senasib dengan Aisyah.
Masing-masing menyerahkan setorannya. Dan suara bentakan bang amat kerap
terdengar jika mereka membawa setoran kurang atau ada yang mencoba menipunya.
"Aisyah,
sini sayang" panggil bang Amat. "Mana setorannya" lanjutnya
ramah dan semua tahu itu akan jadi amarah jika setoran kurang.
Aisyah
dengan takut-takut maju mendekati bang amat. Dikeluarkannya kantong berisi uang
receh dan beberapa ribuan. "Ini bang" kata Aisyah sambil menyerah
kantongnya.
Bang Amat
menghitung uang setoran Aisyah. "Hei, aku heran dengan kamu, Aisyah"
ujarnya.
"He..heran
kenapa bang?" tanya Aisyah gugup, takut bang Amat mengamuk.
"Mengapa
setoran uangnya pas, mana lebihnya. Kau sembunyikan ya.." bang amat
berkata curiga. Di perhatikannya dengan seksama Aisyah. Hingga dilihatnya kaki Aisyah
yang lecet.
"Se..sebenarnya
ada lebih se..sedikit bang. Tapi aku ingin beli sa..sandal jadi u..uangnya
a..aku ta..tabung" jawab Aisyah ketakutan. Ibu mengajarkan Aisyah untuk
selalu jujur. Kata Ibu jika kita jujur maka kita akan selamat.
Bang Amat
mengangguk. Ia diam dan berpikir. Raut mukanya tidak tampak wajah marah seperti
dibohongi atau mendapat setoran yang kurang. Tapi diluar dugaan Aisyah, bang
Amat malah menyuruhnya terus nyeker agar orang-orang lebih iba dan hasil yang
didapat lebih banyak. "Mengapa kau tak terus saja menyeker seperti ini. Sandal
akan menghambat kau mendapatkan uang. Sini, beri aku uang tabunganmu"
katanya.
"Ti..tidak
bang. Aku ingin membeli sandal yang sama dengan sandal yang dibelikan oleh
ibuku" kata Aisyah. Akhirnya ia berani membantah bang Amat.
Mendapat
penolakan dari Aisyah, bang Amat memanggil tangan kanannya untuk mengawasi Aisyah.
Mencari dimana uang tabungan yang disimpan oleh Aisyah. Ia tak mau meminta
secara paksa karena Aisyah adalah anak baru. Ia khawatir jika ia membentak Aisyah
akan kabur. Dan itu mengurangi pendapatanya.
"Oh,
kau masih punya ibu rupanya" kata bang Amat. Dia memang tidak tahu
mengenai asal-usul Aisyah. Ketika ia menemukan Aisyah yang tekatung dijalan, ia
hanya menawarkan Aisyah tempat tinggal dan makanan. Aisyah yang baru berumur
sepuluh tahun merasa senang karena bisa punya tempat tinggal dan makan. Tapi
dia tak pernah menyangka akan disuruh bekerja di jalanan.
"Ibuku
sudah meninggal bang. Tapi meskipun ibu telah tiada tapi ia tetap hidup dalam
hatiku" ujar Aisyah dengan rasa takut yang telah diusirnya, menunjuk
dadanya meyakinkan bang amat bahwa ibu selalu hidup dalam hatinya.
"Baiklah.
Tidur sana kau" perintah bang Amat. "Jangan lupa sebelum tidur,
kompres kakimu. Supaya besok, kau tetap bisa bekerja" lanjutnya.
Seperti
biasa gedung tua tempat Aisyah bernaung riuh. Meskipun begitu, cahaya lampu
yang remang dan udara yang lembab memanjakan anak-anak lainnya untuk tertidur
pulas. Semua tidur karena kelelahan. Yang terdengar hanya suara gombalan bang
Amat yang menelpon kekasihnya dan suara ribut anak buah bang Amat yang mabuk. Suara
dengingan nyamuk di telinga dan decakan cicak juga turut meramaikan pendengran
Aisyah. Belum lagi dengkuran anak-anak yang sangat kelelahan seharian
mengelilingi lampu merah. Semua mengalun menjadi satu simponi gedung tua
berlumut.
Aisyah tak dapat menutup mata. Bukan karena
kakinya yang perih tetapi uang tabungan yang ia tabung selama sebulan sudah
cukup untuk membeli sandal. Ia dan Farhan, temannya, telah merencanakan
pelarian diri saat uang Aisyah telah cukup untuk membeli sandal jepit. Mereka
tahu siasat bang Amat dan lambat laun uang tabungan itu akan dirampasnya.
****
Pagi ini hujan gerimis menyertai. Semua anak
jalanan sudah siap bertugas. Meski mata masih mengantuk dan badan yang ingin
lebih lama bermalas-malasan, namun rasa takut pada bang Amat dan sekutunya
mengalahkan semuanya. Mulut yang terus menguap dengan berjalan agak lunglai,
mereka turun menelusuri gang-gang dan perkampungan kecil menuju lampu-lampu
merah. Tak ada yang berani singgah atau berbelok arah karena anak buah bang
Amat sigap mengawasi.
Malam tadi,
ketika semua telah tertidur, Aisyah dan Farhan bangun untuk membuat rencana. Tak
ingin seperti ini selamanya. Tak ingin jadi gelandangan. Tak ingin jadi anak
jalanan. Sudah cukup mereka merasakan hidup bagai neraka. Menerima celaan dan
meminta rasa iba atas penderitaan yang dirasakan. Menghadapi skeptisme
orang-orang yang kadang mengira mereka mau mencuri.
“Sah, nanti
aku akan mengalihkan perhatian bang Samsul dan bang Jaka. Saat mereka
mengejarku, engkau cepat-cepat kabur. Kamu masih ingat tempat untuk bersembunyi
yang waktu itu aku tunjukkan?” jelas Farhan. Farhan telah menganggap Aisyah
seperti adiknya. Umur mereka terpaut lima tahun.
“Iya bang”
jawab Aisyah mengerti. “Nanti kita bertemu dimana?” lanjutnya bertanya.
“Tempat yang
aman. Rumah Allah. Kau beli saja sandal jepit bunga-bunga yang kau inginkan di
toko dekat terminal. Aku pernah melihatnya dipajang disana. Setelah itu,
pergilah keselatan. Disana ada sebuah masjid. Hanya di sana kita aman” jawab
Farhan.
****
Aisyah
mencoba berbelok. Ada rasa takut dan ragu. Tapi keyakinan untuk kabur hari ini
lebih tinggi dari rasa takut tersebut. Mencari celah agar terhindar dari
pandangan para anak buah bang Amat yang terus mengawasinya. Sulit baginya untuk
bergerak karena kali ini bang Samsul dan bang Jaka ekstra mengawasi Aisyah. Mereka
telah menerima perintah dari bang Amat untuk mencari tahu dimana anak kecil itu
menyimpan uang tabungannya.
Tapi mereka
terkecoh oleh Farhan. Aisyah berhasil
menyusup ke perkarangan salah satu warga yang Farhan tunjukan. Sedangkan,
Farhan terus mengalihkan dua preman dengan berlari secepat mungkin. Dasar
preman bodoh. Mereka lupa tugas utama mengawasi Aisyah. Mereka fokus pada Farhan
yang kini juga telah hilang, bersembunyi kedalam tempat sampah.
Aisyah
merunduk bersembunyi diantara pagar dan gundukan karung pasir. Badan yang kecil
memberi keuntungan baginya saat anak-anak buah bang Amat sadar mereka kehilangan
Aisyah. Mereka kembali mencari Aisyah. Asiyah lebih penting dari Farhan. Jika
besar Aisyah bisa menghasilkan uang yang lebih banyak lagi disbanding Farhan.
Masih terdengar gema dari suara kedua
pria besar memanggil nama Aisyah. Namun Aisyah tetap bertahan di
persembunyianya hingga suara itu menghilang. Aisyah bangun dari
persembunyiannya dan melihat sekeliling, mengecek apakah bang Samsul dan bang Jaka
masih berada di sekitar ia bersembunyi. Situasi aman terkendali. Mereka telah
pergi.
Kaki yang masih perih kini hanya
terasa seperti digigit serangga. Senyum merekah dibibir mungil Aisyah.
"Aku berhasil" katanya. "Aku berhasil" kata Aisyah lagi dengan
ekspresi yang lebih bahagia. Sifat anak-anaknya muncul kembali. Aisyah
melompat-lompat. Aisyah menari. Aisyah tertawa dan tak berhenti bersyukur
mengatakan bahwa ia berhasil. Hingga pemilik rumah terbangun dan mengusirnya.
Aisyah terus
berjalan menuju terminal. Tujuannya pertamanya adalah sebuah toko didekat
terminal. Toko itu menjual sandal jepit bunga-bunga seperti yang dikatakan
Farhan. Ia membeli sandal dengan motif bunga-bunga yang ternyata tinggal satu.
Meskipun agak besar dan tak sama dengan sandal jepit yang diberikan oleh Ibu
tapi Aisyah bahagia dia telah berhasil membelinya. Sandal jepit bunga-bunga yang
memotivasinya untuk bertahan meski hidup sebagai anak jalanan.
Kini tujuan
berikutnya adalah masjid. Hanya masjid yang tak pernah dikunjungi bang Amat dan
sekutunya. Dengan senyum merekah dan sepasang sandal jepit bunga-bunga baru,
Aisyah berjalan. Di mesjid sebelah selatan terminal, Farhan telah menunggu.