Saat
ini guru menjadi topik yang paling seru untuk dibicarakan. Guru menjadi tema
utama dalam rubrik di media massa. Ditambah lagi seminar-seminar pendidikan
yang mengangkat tema tentang guru. Mulai dari profesionalitas, cara mengajar,
bahkan universitas yang menyediakan fakultas keguruan menjadi serbuan. Selain
itu, berita tentang demo yang dilakukan oleh guru juga menjadi berita hangat. Tak
pelak, saat ini guru menjadi idola.
Apakah
karena gaji besar yang dijanjikan? Atau pekerjaan yang memuliakan? Profesi guru
menjadi salah satu yang diinginkan dan dicita-citakan oleh anak-anak muda saat
ini. Bahkan, banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi guru. Hal ini
terbukti, dari minat yang tinggi terhadap fakultas keguruan.
Namun
sayang, saat guru menjadi idola ada sesuatu yang hilang. Prioritas menjadi guru
hanyalah sebagai pekerjaan yang mudah didapat dan dapat memberi gaji menjanjikan apalagi jika guru
tersebut lulus sertifikasi profesi guru. Sebagaimana yang diungkapan oleh Anis
Baswedan, pencetus Gerakan Indonesia Mengajar dalam dialog bersama Desi Anwar
di salah satu televisi swasta (7/7/2012) “A
teacher must be role model. We don’t
fight to get a job but we do fight to do this job”. Keteladanan adalah hal yang mulai terkikis
ketika guru bekerja hanya untuk uang. Pendapatan menjadikan profesi guru
hanyalah sebatas pekerjaan untuk menyampaikan materi dari buku, memberi tugas
dan nilai. Esensi utama seorang guru yaitu mendidik dengan keteladanan dinomor
duakan.
Pendidikan
berbasis karakter, sebuah kebijakan
Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2011 diharapkan dapat menjadi tonggak
dalam membangun karakter anak bangsa dan terwujudnya Indonesia Emas 2025.
Pendidikan karakter ini dijabarkan dalam enam pilar karakter yang terdiri dari trustworthiness (kepercayaan), Respect (Respek), Responsibility (Tanggungjawab), Fairness
(Keadilan), Caring (Peduli), Citizenship (Kewarganegaraan). Keenam
pilar yang akan lebih mudah dibangun jika telah berdiri tegak dalam diri sang
guru.
Saat
guru menjadi idola maka guru adalah panutan. Guru akan digugu dan ditiru. Guru
bukan hanya simbol pendidikan yang mentransfer ilmu dalam kelas. Lebih dari
itu, guru harus mengalahkan ketenaran idola yang diidolakan para muridnya. Tapi
sayangnya di Indonesia, guru tidak menjadi idola. Mirisnya, ada sebuah julukan
bagi guru yaitu the killer. Guru
adalah monster yang menakutkan. Peran idola lebih kini disandang oleh boys dan
girls band, artis, aktor dan smeua yang tampil dalam kotak persegi empat yang
disebut televisi. Thomas L.
Friedman menuliskan sebuah perbandingan antara anak-anak Cina dengan Amerika
dalam tulisannya The World is Flat
(2006) “saat ini di Cina, Bill Gates adalah Britney Spears. Di Amerika, Britneys
Spears adalah Britney Spears, dan itulah masalah kita”. Kepedulian Friedman
terhadap generasi di Amerika, seharusnya menyadarkan kita bagaimana keadaan
anak-anak di Indonesia. Kecintaan anak-anak pada hiburan saat ini tampak lebih
besar daripada kecintaan mereka pada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mutu
pendidikan di Indonesia tidak akan meningkat secara signifikan. Berbeda halnya
dengan Cina yang saat ini meroket menyaingi Amerika.
Contoh nyata dari keteladanan tampak dari
guru terhebat Muhammad Saw. Sebagaimana yang tercantum dalam terjemahan Q.S Al-Ahzab: 21 yang berbunyi “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik…”. Rasulullah, sosok guru yang pengaruhnya dapat dirasakan
hingga saat ini. Keteladanannya tidak hanya dicontoh oleh pengikut pada masanya
tetapi juga diikut oleh orang-orang yang menjadikannya idola hingga saat ini. Hal
ini membuktikan teladan dari guru adalah pilar paling utama sebelum enam pilar
karakter tersebut. Pengaruh teladan yang tampak dari seorang guru dapat lebih
mudah diterima daripada karakter yang hanya diajar lewat teori dari buku.
Mengidolakan diri bagi guru bukanlah
hal mudah disaat idola-idola dunia hiburan menjadi sebuah euphoria bagi anak-anak
Indonesia. Anak-anak Indonesia lebih senang mendengarkan lagu-lagu popular
seperti lagu Pop, K-Pop, Rock yang dinyanyikan idola mereka dari pada
penjelasan guru mereka. Bahkan mereka tak segan berdandan ala sang idola.
Cita-cita ingin jadi boysband atau girlsband, artis, aktor telah terframe kuat dalam
pikiran mereka.
Tetapi bukanlah tidak mungkin bagi
guru untuk menjadi idola. Hanya diperlukan kerja keras, kreatifitas dan
semangat untuk menjadi idola. Guru harus mengembalikan fitrah asli sebagai guru
yaitu menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Berjuang dengan sungguh-sungguh dalam
mendidik, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tanpa tekanan dan
menjadi idola yang pantas untuk ditiru oleh anak-anak didiknya.
My
teacher is my idol. Guruku idolaku. Saatnya guru menjadi idola. Idola yang selalu
ditunggu kedatangannya untuk mengajar. Idola yang di gugu dan ditiru. Idola
yang membawa Indonesia menjadi negara terdepan yang siap menyaingi negara maju
di dunia. Saat guru menjadi idola maka bukan tidak mungkin Indonesia emas 2025
akan terwujud.
0 comments:
Post a Comment