Guru
adalah pembuka peradaban yang berperan besar membangun sumber daya berkualitas.
Mendidik, membimbing dan mengarahkan sehingga manusia menjadi manusia
seutuhnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
Guru juga menjadi kompas utama petunjuk arah menuju kemajuan. Oleh karena itu,
guru adalah mahluk bijaksana yang dihormati dan disegani.
Semakin maju zaman semakin maju pula
pola pikir manusia. Tentu saja kemajuan ini tak terlepas dari guru meskipun ada
teori mengatakan guru bukanlah faktor utama dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Namun, guru tetap faktor yang tak bisa dipisahkan dari
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terungkap jelas dari sejarah terbentuknya
negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris dan bangsa-bangsa terdepan
lainnya.
Ada sebuah cerita tentang negara
superpower Asia, Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki hancur terkena bom atom,
hal yang dilakukan Kaisar Jepang adalah menanyakan berapa guru yang tersisa.
Hal ini dikarenakan awal kebangkitan Jepang berasal dari seorang guru. Guru
yang memberikan Aufklarung atau pencerahan kepada pemuda Jepang sehingga
menjadi penggiat belajar dan awal revolusi ilmu di negeri Sakura ini.
Guru
dikenal di Jepang pada Era Meiji dengan istilah sensei. Saat bangsa-bangsa Barat memasuki dan mengintervensi Jepang
munculah seorang guru muda Yoshida Shoin. Yoshida Shoin adalah invisible teacher. Pengaruhnya yang singkat namun luar biasa
melahirkan tokoh-tokoh pembangun peradaban Jepang pada masa Restorasi Meiji
(Eko Laksono, Imperium III, 2009). Yoshida adalah pemuda yang mempunyai
Nasionalis tinggi terhadap bangsanya. Ia tidak suka dengan Barat. Tapi,
keingintahuan yang tinggi dan semangat mendapat ilmu membuatnya nekat
menyelinap kekapal milik Barat. Meskipun akhirnya berakhir d penjara. Setelah
bebas dari masa tahanan, Yoshida meneruskan sekolahnya dan mengajarkan kepada
murid-muridnya untuk tidak menutup diri dan mulai belajar dari orang-orang
Barat. Pada umur 28 tahun, Yoshida dihukum mati. Namun, Yoshida telah memberi perubahan pada
Jepang dan menjadi inspirasi bagi pemimpin Jepang.
Seorang
guru yang juga berpengaruh di Asia terutama Cina, Jepang dan Korea adalah
Konfusius. Seorang filsuf, pemikir dan pendidik dari tanah Cina, lahir di
Shandong 551 SM. Jika kita pernah menonton film Confucius (2010) maka kita akan
melihat scene dimana seorang murid rela mati hanya untuk mengambil parkamen,
catatan-catatan sang guru yang dianggap lebih penting dari nyawanya. Konfusius
menanamkan kecintaan terhadap ilmu kepada murid-muridnya. Salah satu analek
konfusius yang terkenal yaitu “Buku itu adalah seperti gudang berisi emas”. Konfusius
adalah invisible teacher, karena
hanya mempelajari analeknya saja dapat mempengaruhi negara-negara yang sekarang
menjadi penguasa Asia. Kemudian ajaran konfusius dijadikan ajaran yang tak
berhenti diajarkan di Cina, Jepang dan Korea.
Muhammad
SAW, adalah seorang guru besar bagi umat muslim. Michael Hart penulis 100 orang
paling berpengaruh di dunia menjadikan Muhammad SAW sebagai nomor satu orang
yang paling berpengaruh. Jika Yoshida menjadi inspirasi tokoh-tokoh Restorasi
Meiji, Konfusius menjadi ajaran wajib Cina, Jepang dan Korea, maka Muhammad SAW
adalah tokoh yang menginspirasi dunia. Muhammad adalah guru yang mengajar
dengan keteladanan. Muhammad SAW adalah guru yang sangat mencintai ilmu. Dia
bahkan menyuruh umat Islam belajar hingga ke negeri Cina.
Cina adalah peradaban tertua dan sejarahnya
paling maju di dunia. Oleh karena itu, Muhammad SAW menyuruh pengikutnya untuk
tidak hanya berdiam diri ditanah Arab tetapi menjelajahi dunia dan belajar.
Menyerap ilmunya. Berkat Muhammad SAW, umat Islam menjadi besar dan tidak lagi
bodoh. Bahkan Islam pernah menjadi peradaban paling maju yang menginspirasi
kebangkitan Eropa (Laksono, 2009). Orang-orang Islam terus belajar dengan menjadikan Muhammad sebagai teladan dalam
mencintai ilmu dan semangat dalam mencarinya.
Teacher is a king.
Guru adalah raja, paling tidak guru adalah raja di kelas. Raja bagi
murid-muridnya. Namun guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah
kerbau (Soe Hok Gie, 1942-1969). Guru tidak bisa menjadi diktator layaknya
Hitler. Karena belajar bukan hanya dari guru ke siswa. Belajar adalah individual sense-making. Belajar adalah creating knowledge with others. Itulah
yang diungkapkan oleh Watkins dkk, dalam buku Effective Learning in the
Classroom (2007). Layaknya seorang Raja yang ingin membuat negaranya sejahtera maka
kepiawaian Raja harus dapat membuat rakyat mandiri sehingga bangsa yang
dipimpin berkembang. Dan begitu juga
seorang guru di kelas yang harus piawai membuat murid-muridnya mandiri dalam
memperoleh pengetahuan. Dengan menciptakan suasana penuh semangat, bahagia
tanpa tekanan dalam belajar. Mengajarkan bahwa ilmu tak hanya dari seorang guru,
semangat mencarinya dan keinginan untuk menjadi generasi unggul yang bermanfaat
adalah nilai yang lebih tinggi dari skor 100 atau nilai A.
Oleh
karena itu, guru harus mendidik muridnya untuk terbuka pada ilmu yang lebih
luas bukan hanya terfokus pada guru yang mengajar dikelas. Guru terkadang harus
menjadi seorang yang tak terlihat. Seperti Raja yang tak semua rakyat dapat
melihatnya, namun mereka tetap terus berusaha bersama untuk mensejahterakan negeri.
Untuk itu Raja harus berpikir bagaimana mempertahankan loyalitas rakyat agar terus
meningkatkan diri memajukan bangsanya. Begitu halnya dengan guru, harus dapat
membuat muridnya tetap belajar meskipun tanpa kehadiran bimbingan darinya.
Karena belajar bukan satu arah, guru ke siswa. Tetapi belajar dapat dilakukan
dimana saja, kapanpun dan bersama apapun dan siapapun. Karena ilmu tidak
terbatas.
Seorang
invisible teacher adalah pendidik
yang memberi bekas mendalam meskipun dia tidak dalam keadaan mengajar. Guru
yang menjadi motor bagi murid-muridnya untuk tetap menggali ilmu meskipun sang
guru mendampingi. Selain itu, menjadi Invisible
teacher juga harus terus dan mau memperbaiki diri dengan meningkatkan
kualiatas ilmu dan cara mengajarnya. Dia harus menjadi teladan bagi
murid-muridnya. Visinya bukan hanya mentrasfer ilmu yang ia miliki tetapi juga
membuat anak didik dapat mengembangkan ilmu yang ditransfer. Bahkan lebih hebat
dari gurunya.
Sejarah
Indonesia juga mencatat banyak invisible
teachers. Mulai dari Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan Nasional, Kartini
dengan pendapatnya mengenai pentingnya pendidikan dan penyerapan teknologi
Barat, BJ Habibi dan banyak lagi yang bisa kita ambil contoh. Seperti Yoshida
yang penuh dengan keingitahuan, Kofusisus yang mengajarkan untuk lebih harmoni
dan Muhammad Saw, sang teladan sejati adalah invisible teachers. Guru sepanjang masa yang ajarannya tak
terlupakan. Menjadi guru teladan yang memberi semangat dan inspirasi untuk
memperoleh ilmu yang lebih luas, meskipun tanpa harus ada sang guru.