Bibir ini
kembali merekah. Tersenyum indah. Disinari cahaya yang masuk melalui sela-sela
jendela. Tetes demi tetes keringat jatuh karena panasnya matahari. Namun, hal
itu tak mengurungkan niatku untuk terus bermimpi. Mengkreasikan hidup
diduniaku. Dunia milikku. Aku pemeran utamanya disini. Terserah kata mereka.
Mereka mau bilang jangan mimpi disiang bolong, bodohnya jadi penghayal, jangan
meraih yang tidak pasti, sadar bahwa dunia tak seindah khayalan. Whatever.
Karena duniaku indah, duniaku adalah milikku.
Tinggi, putih dan bersih. Dia datang
menghampiriku. Duduk disampingku dan berkata “It’s a nice day, isn’t it?”
“Yup, a nice and beautiful day”
Jawabku.
“James.” Katanya memperkenalkan
diri.
“Ayu, nice to meet you.”
“You too” Ujar James tersenyum.
“What do you do?”
“I am a student. How about you ?”
James hanya tersenyum seolah
menyembunyikan identitasnya. James berdiri, merentangkan kedua lengannya dan
menghirup udara segar pagi hari.
Byuuaaar. James, menghilang. Yang
terdengar hanyalah suara ibu memanggil. “Ayu…Ayu…, cuci piring!”
“Illusion, again” keluhku. Duniaku
hilang…hilang karena suara Ibu. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan
menuju dapur. Cuci piring.
*****
Mimpi itu indah. Namun seringkali
orangtuaku marah, marah karena aku harus bangun. Bangun dari mimpiku. Dan hidup
didunia nyata yang menyakitkan dan menyebalkan. Dunia nyata, dimana penuh
dengan persaingan. Yang hebat yang menang. Tapi, Aku benci itu. Benci jika
hidup harus biasa-biasa saja. Karena aku yakin kesuksesan seperti Bill Gates,
Henry Ford, and James Watt adalah punya impian.
“Kita harus realistis. Jangan mimpi
terlalu tinggi entar kalo jatu sakit” celetuk Ariya, temanku.
“Tapi
mimpi membuat kita hidup” protesku.
“Mimpi itu hanya membuat kita
berharap, sedangkan hidup itu keras dimana kita harus berjuang untuk hidup”
jelas arya.
“Apakah salah kalau kita punya mimpi
dalam hidup ini”
“Ngga. Asalkan yang real aja.”
“Real? Maksudnya?”
“Mimpi yang dapat kita capai.
Contohnya ketika tamat dari sini, kita jadi pegawai negeri. Setelah itu menikah
dan hidup bahagia bersama anak dan suami kita. Itu mimpi.”
“O…..” jawabku malas-malasan.
“Mangnya apa mimpimu?”
“Mimpiku
adalah melanjutkan kuliah diluar negeri. Aku ingin jadi pembicara disetiap
ajang seminar dan workshop. Menjadi guru yang disayangi murid, menjadi
motivator bagi semua orang dan menikah dengan bule” ceritaku.
“Hahahaha…” tawa Arya meledak.
“Kawin dengan bule, mau memperbaiki keturunan?”
Arya hanya menggubris pernyataan
terakhirku menikah dengan bule. Arya pikir aku pasti gila, ingin kawin
dengan bule makanya tertawa begitu lepas.
“Lucu ya?” ujarku sambil menatap
tajam kearah Arya.
“Ya iyalah lucu. Apakah kamu tau
setiap muslimah itu pasti bermimpi ingin menikah dengan laki-laki soleh yang
dapat dijadiin imam dan alhamdulillah kalo suaminya ganteng dan tajir. Dan
kamu, yu? Menikah dengan bule?”
“Memang ga boleh?”
“Bukan gak boleh, mustahil aja.
Apalagi rata-rata bule itu non muslim. Apa lo mau nikah dengan laki-laki bukan
Islam. Udah deh yang realistis aja, ngga usah muluk-muluk.” Kata Arya.
“muluk-muluk?” kataku pelan.
****
Indonesia adalah Negara kaya bahkan
sangat kaya. Tetapi malangnya untuk belajar saja kami harus menyeret bangku dan
bersempit-sempit riya. Aku heran, habis kemana sih biaya yang kami keluarkan?
Kalau dalam ruangan yang luasnya sekitar 6x6 meter harus diisi 75 mahasiswa. Bagaimana
Indonesia bisa advance, udah belajar dalam ruangan yang padat ditambah lagi
mahasiswa yang statusnya agent of change ngga serius belajar. Ada yang
facebookan, sms, ngerumpi dan berbagai macam aktifitas yang menghancurkan
konsentrasi belajar. Pantas kalo Indonesia banyak hutang, toh generasi mudanya
macam beginian.
Daripada mikirkan calon-calon
intelek Indonesia lebih baik aku kembali dalam duniaku. Dunia milikku. Aku
mulai berpikir, kali ini tentang motivasi. Melihat kawan-kawanku tak serius
belajar aku berkesimpulan mereka pasti orang biasa, yang ingin hidup biasa.
Tanpa motivasi untuk hidup lebih baik. Entahlah, apakah mereka merasa hebat
hanya sebagai penikmat. Mengekor pada barat bukannya belajar untuk menjadi
hebat seperti barat layaknya Jepang dan Korea Selatan. Jepang di akui karena
kehebatannya dalam teknologi sedangkan Korea Selatan diakui dunia karena
pelayanan umum terbaik. Dan kini cina, yang produknya membanjiri Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Oleh karena itu, aku senang hidup diduniaku.
Karena ketika aku hidup dalam duniaku, aku ingin menjadi Bill Gates, aku ingin
menjadi Henry ford, aku ingin menjadi seperti orang-orang sukses didunia.
Namun, Idola utamaku tetap Muhammad, karena tak ada yang sehebat beliau didunia
ini, yang rela disiksa demi umatnya. Mimpi Rasulullah hanya 1, islam jaya
dimuka bumi.
Muhammad saw, Bill Gates, Henry Ford
dan orang-orang hebat dan sukses adalah pemimpi-pemimpi besar. Mereka tak
mungkin bisa menjadi hebat tanpa mimpi. Spekulasi yang bagus. Bicara tentang
mimpi, mengingat orang-orang hebat membuatku semakn yakin ingin hidup
diduniaku. Tanpa peduli kata orang tua, kakak dan teman-temanku. Bahwa mimpi
harus yang muluk-muluk.
*****
“Selamat, anda telah sampai di tahap
wawancara. Tahap ini adalah tahap penentuan, karena dari sekian ribu pelamar
hanya seratus yang samapai ditahap ini dan akan dipilih 20 sebagai penerima
beasiswa.” Ujar penguji beasiswa didepanku.
“Terima kasih, pak.” Jawabku.
“Apa motivasi anda meng-apply
beasiswa ini?” Tanyanya.
“Dream.”
Penguji itu terdiam, mungkin aneh
mendengar jawabanku. Aku tahu dia pasti berpikir aku aneh, ataupun dia berpikir
aku adalah orang yang bertele-tele. Terbukti dengan pertanyaan selanjutnya
“Cuma itu.”
“Itu yang pertama dan yang kedua
adalah aku ingin menjadi motivasi buat murid-muridku. Aku ingin membuktikan
bahwa ilmu tidak harus berakhir dibangku sekolah.”
“Maksud anda?”
“Life long learning.”
“Oh..itukan bisa Anda dapatkan
dimana saja bukan dibeasiswa ini.”
“Memang benar pak. Tapi aku mengenal
istilah learn and study dari bahasa inggris dan aku ingin belajar dinegeri asal
muasal kata ini berasal. Pasti mereka punya alasan mengapa ada learn dan
study.”
Aku melihat kepusingan di wajah
penguji itu. Apakah dia pusing dengan jawabanku atau he got my point. Tapi kali
ini yang kutahu hanya pasrah, karena yang harus kulakukan kali ini tinggalah
tawakal.