RSS

Thursday, August 23, 2012

Guru dan Kemajuan Bangsa


Guru adalah pembuka peradaban yang berperan besar membangun sumber daya berkualitas. Mendidik, membimbing dan mengarahkan sehingga manusia menjadi manusia seutuhnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Guru juga menjadi kompas utama petunjuk arah menuju kemajuan. Oleh karena itu, guru adalah mahluk bijaksana yang dihormati dan disegani.
            Semakin maju zaman semakin maju pula pola pikir manusia. Tentu saja kemajuan ini tak terlepas dari guru meskipun ada teori mengatakan guru bukanlah faktor utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, guru tetap faktor yang tak bisa dipisahkan dari pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini terungkap jelas dari sejarah terbentuknya negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris dan bangsa-bangsa terdepan lainnya.
            Ada sebuah cerita tentang negara superpower Asia, Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki hancur terkena bom atom, hal yang dilakukan Kaisar Jepang adalah menanyakan berapa guru yang tersisa. Hal ini dikarenakan awal kebangkitan Jepang berasal dari seorang guru. Guru yang memberikan Aufklarung atau pencerahan kepada pemuda Jepang sehingga menjadi penggiat belajar dan awal revolusi ilmu di negeri Sakura ini.
Guru dikenal di Jepang pada Era Meiji dengan istilah sensei. Saat bangsa-bangsa Barat memasuki dan mengintervensi Jepang munculah seorang guru muda Yoshida Shoin. Yoshida Shoin adalah invisible teacher.  Pengaruhnya yang singkat namun luar biasa melahirkan tokoh-tokoh pembangun peradaban Jepang pada masa Restorasi Meiji (Eko Laksono, Imperium III, 2009). Yoshida adalah pemuda yang mempunyai Nasionalis tinggi terhadap bangsanya. Ia tidak suka dengan Barat. Tapi, keingintahuan yang tinggi dan semangat mendapat ilmu membuatnya nekat menyelinap kekapal milik Barat. Meskipun akhirnya berakhir d penjara. Setelah bebas dari masa tahanan, Yoshida meneruskan sekolahnya dan mengajarkan kepada murid-muridnya untuk tidak menutup diri dan mulai belajar dari orang-orang Barat. Pada umur 28 tahun, Yoshida dihukum mati.  Namun, Yoshida telah memberi perubahan pada Jepang dan menjadi inspirasi bagi pemimpin Jepang. 
Seorang guru yang juga berpengaruh di Asia terutama Cina, Jepang dan Korea adalah Konfusius. Seorang filsuf, pemikir dan pendidik dari tanah Cina, lahir di Shandong 551 SM. Jika kita pernah menonton film Confucius (2010) maka kita akan melihat scene dimana seorang murid rela mati hanya untuk mengambil parkamen, catatan-catatan sang guru yang dianggap lebih penting dari nyawanya. Konfusius menanamkan kecintaan terhadap ilmu kepada murid-muridnya. Salah satu analek konfusius yang terkenal yaitu “Buku itu adalah seperti gudang berisi emas”. Konfusius adalah invisible teacher, karena hanya mempelajari analeknya saja dapat mempengaruhi negara-negara yang sekarang menjadi penguasa Asia. Kemudian ajaran konfusius dijadikan ajaran yang tak berhenti diajarkan di Cina, Jepang dan Korea.
Muhammad SAW, adalah seorang guru besar bagi umat muslim. Michael Hart penulis 100 orang paling berpengaruh di dunia menjadikan Muhammad SAW sebagai nomor satu orang yang paling berpengaruh. Jika Yoshida menjadi inspirasi tokoh-tokoh Restorasi Meiji, Konfusius menjadi ajaran wajib Cina, Jepang dan Korea, maka Muhammad SAW adalah tokoh yang menginspirasi dunia. Muhammad adalah guru yang mengajar dengan keteladanan. Muhammad SAW adalah guru yang sangat mencintai ilmu. Dia bahkan menyuruh umat Islam belajar hingga ke negeri Cina.
 Cina adalah peradaban tertua dan sejarahnya paling maju di dunia. Oleh karena itu, Muhammad SAW menyuruh pengikutnya untuk tidak hanya berdiam diri ditanah Arab tetapi menjelajahi dunia dan belajar. Menyerap ilmunya. Berkat Muhammad SAW, umat Islam menjadi besar dan tidak lagi bodoh. Bahkan Islam pernah menjadi peradaban paling maju yang menginspirasi kebangkitan Eropa (Laksono, 2009). Orang-orang Islam terus belajar dengan  menjadikan Muhammad sebagai teladan dalam mencintai ilmu dan semangat dalam mencarinya.  
Teacher is a king. Guru adalah raja, paling tidak guru adalah raja di kelas. Raja bagi murid-muridnya. Namun guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau (Soe Hok Gie, 1942-1969). Guru tidak bisa menjadi diktator layaknya Hitler. Karena belajar bukan hanya dari guru ke siswa. Belajar adalah individual sense-making. Belajar adalah creating knowledge with others. Itulah yang diungkapkan oleh Watkins dkk, dalam buku Effective Learning in the Classroom (2007). Layaknya seorang Raja yang ingin membuat negaranya sejahtera maka kepiawaian Raja harus dapat membuat rakyat mandiri sehingga bangsa yang dipimpin berkembang.  Dan begitu juga seorang guru di kelas yang harus piawai membuat murid-muridnya mandiri dalam memperoleh pengetahuan. Dengan menciptakan suasana penuh semangat, bahagia tanpa tekanan dalam belajar. Mengajarkan bahwa ilmu tak hanya dari seorang guru, semangat mencarinya dan keinginan untuk menjadi generasi unggul yang bermanfaat adalah nilai yang lebih tinggi dari skor 100 atau nilai A.
Oleh karena itu, guru harus mendidik muridnya untuk terbuka pada ilmu yang lebih luas bukan hanya terfokus pada guru yang mengajar dikelas. Guru terkadang harus menjadi seorang yang tak terlihat. Seperti Raja yang tak semua rakyat dapat melihatnya, namun mereka tetap terus berusaha bersama untuk mensejahterakan negeri. Untuk itu Raja harus berpikir bagaimana mempertahankan loyalitas rakyat agar terus meningkatkan diri memajukan bangsanya. Begitu halnya dengan guru, harus dapat membuat muridnya tetap belajar meskipun tanpa kehadiran bimbingan darinya. Karena belajar bukan satu arah, guru ke siswa. Tetapi belajar dapat dilakukan dimana saja, kapanpun dan bersama apapun dan siapapun. Karena ilmu tidak terbatas.
Seorang invisible teacher adalah pendidik yang memberi bekas mendalam meskipun dia tidak dalam keadaan mengajar. Guru yang menjadi motor bagi murid-muridnya untuk tetap menggali ilmu meskipun sang guru mendampingi. Selain itu, menjadi Invisible teacher juga harus terus dan mau memperbaiki diri dengan meningkatkan kualiatas ilmu dan cara mengajarnya. Dia harus menjadi teladan bagi murid-muridnya. Visinya bukan hanya mentrasfer ilmu yang ia miliki tetapi juga membuat anak didik dapat mengembangkan ilmu yang ditransfer. Bahkan lebih hebat dari gurunya.
Sejarah Indonesia juga mencatat banyak invisible teachers. Mulai dari Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan Nasional, Kartini dengan pendapatnya mengenai pentingnya pendidikan dan penyerapan teknologi Barat, BJ Habibi dan banyak lagi yang bisa kita ambil contoh. Seperti Yoshida yang penuh dengan keingitahuan, Kofusisus yang mengajarkan untuk lebih harmoni dan Muhammad Saw, sang teladan sejati adalah invisible teachers. Guru sepanjang masa yang ajarannya tak terlupakan. Menjadi guru teladan yang memberi semangat dan inspirasi untuk memperoleh ilmu yang lebih luas, meskipun tanpa harus ada sang guru. 

SAAT GURU MENJADI IDOLA


Saat ini guru menjadi topik yang paling seru untuk dibicarakan. Guru menjadi tema utama dalam rubrik di media massa. Ditambah lagi seminar-seminar pendidikan yang mengangkat tema tentang guru. Mulai dari profesionalitas, cara mengajar, bahkan universitas yang menyediakan fakultas keguruan menjadi serbuan. Selain itu, berita tentang demo yang dilakukan oleh guru juga menjadi berita hangat. Tak pelak, saat ini guru menjadi idola.
Apakah karena gaji besar yang dijanjikan? Atau pekerjaan yang memuliakan? Profesi guru menjadi salah satu yang diinginkan dan dicita-citakan oleh anak-anak muda saat ini. Bahkan, banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi guru. Hal ini terbukti, dari minat yang tinggi terhadap fakultas keguruan.
Namun sayang, saat guru menjadi idola ada sesuatu yang hilang. Prioritas menjadi guru hanyalah sebagai pekerjaan yang mudah didapat dan dapat  memberi gaji menjanjikan apalagi jika guru tersebut lulus sertifikasi profesi guru. Sebagaimana yang diungkapan oleh Anis Baswedan, pencetus Gerakan Indonesia Mengajar dalam dialog bersama Desi Anwar di salah satu televisi swasta (7/7/2012) “A teacher must be role model.  We don’t fight to get a job but we do fight to do this job”.  Keteladanan adalah hal yang mulai terkikis ketika guru bekerja hanya untuk uang. Pendapatan menjadikan profesi guru hanyalah sebatas pekerjaan untuk menyampaikan materi dari buku, memberi tugas dan nilai. Esensi utama seorang guru yaitu mendidik dengan keteladanan dinomor duakan.
Pendidikan berbasis karakter, sebuah  kebijakan Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2011 diharapkan dapat menjadi tonggak dalam membangun karakter anak bangsa dan terwujudnya Indonesia Emas 2025. Pendidikan karakter ini dijabarkan dalam enam pilar karakter yang terdiri dari trustworthiness (kepercayaan), Respect (Respek), Responsibility (Tanggungjawab), Fairness (Keadilan), Caring (Peduli), Citizenship (Kewarganegaraan). Keenam pilar yang akan lebih mudah dibangun jika telah berdiri tegak dalam diri sang guru.
Saat guru menjadi idola maka guru adalah panutan. Guru akan digugu dan ditiru. Guru bukan hanya simbol pendidikan yang mentransfer ilmu dalam kelas. Lebih dari itu, guru harus mengalahkan ketenaran idola yang diidolakan para muridnya. Tapi sayangnya di Indonesia, guru tidak menjadi idola. Mirisnya, ada sebuah julukan bagi guru yaitu the killer. Guru adalah monster yang menakutkan. Peran idola lebih kini disandang oleh boys dan girls band, artis, aktor dan smeua yang tampil dalam kotak persegi empat yang disebut televisi.             Thomas L. Friedman menuliskan sebuah perbandingan antara anak-anak Cina dengan Amerika dalam tulisannya The World is Flat (2006) “saat ini di Cina, Bill Gates adalah Britney Spears. Di Amerika, Britneys Spears adalah Britney Spears, dan itulah masalah kita”. Kepedulian Friedman terhadap generasi di Amerika, seharusnya menyadarkan kita bagaimana keadaan anak-anak di Indonesia. Kecintaan anak-anak pada hiburan saat ini tampak lebih besar daripada kecintaan mereka pada ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mutu pendidikan di Indonesia tidak akan meningkat secara signifikan. Berbeda halnya dengan Cina yang saat ini meroket menyaingi Amerika.
Contoh nyata dari keteladanan tampak dari guru terhebat Muhammad Saw. Sebagaimana yang tercantum dalam terjemahan  Q.S Al-Ahzab: 21 yang berbunyi “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik…”. Rasulullah, sosok guru yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga saat ini. Keteladanannya tidak hanya dicontoh oleh pengikut pada masanya tetapi juga diikut oleh orang-orang yang menjadikannya idola hingga saat ini. Hal ini membuktikan teladan dari guru adalah pilar paling utama sebelum enam pilar karakter tersebut. Pengaruh teladan yang tampak dari seorang guru dapat lebih mudah diterima daripada karakter yang hanya diajar lewat teori dari buku.
            Mengidolakan diri bagi guru bukanlah hal mudah disaat idola-idola dunia hiburan menjadi sebuah euphoria bagi anak-anak Indonesia. Anak-anak Indonesia lebih senang mendengarkan lagu-lagu popular seperti lagu Pop, K-Pop, Rock yang dinyanyikan idola mereka dari pada penjelasan guru mereka. Bahkan mereka tak segan berdandan ala sang idola. Cita-cita ingin jadi boysband atau girlsband, artis, aktor telah terframe kuat dalam pikiran mereka.
            Tetapi bukanlah tidak mungkin bagi guru untuk menjadi idola. Hanya diperlukan kerja keras, kreatifitas dan semangat untuk menjadi idola. Guru harus mengembalikan fitrah asli sebagai guru yaitu menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Berjuang dengan sungguh-sungguh dalam mendidik, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tanpa tekanan dan menjadi idola yang pantas untuk ditiru oleh anak-anak didiknya. 
            My teacher is my idol. Guruku idolaku. Saatnya guru menjadi idola. Idola yang selalu ditunggu kedatangannya untuk mengajar. Idola yang di gugu dan ditiru. Idola yang membawa Indonesia menjadi negara terdepan yang siap menyaingi negara maju di dunia. Saat guru menjadi idola maka bukan tidak mungkin Indonesia emas 2025 akan terwujud.